JAKARTA - Dalam beberapa bulan terakhir, harga emas global menunjukkan tren kenaikan yang signifikan. Data terbaru pada 14 Oktober 2025 mencatat harga emas di bursa New York (Comex) mencapai 4.204 dollar AS per troy ounce, hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Bank Indonesia (BI) kini memegang cadangan emas sebanyak 80 metrik ton. Dengan harga emas yang melonjak, nilai cadangan emas tersebut setara dengan 10,8 miliar dollar AS berdasarkan data per 3 Oktober 2025.
Kenaikan harga emas yang drastis ini menjadi momentum penting bagi bank sentral. Banyak negara, termasuk Indonesia, meningkatkan pembelian emas sebagai bagian dari strategi cadangan devisa mereka.
Bank sentral Kazakhstan menjadi salah satu yang paling agresif dengan menambah rata-rata 8 ton emas setiap bulan. Total cadangan emas Kazakhstan mencapai 316 metrik ton pada Agustus 2025, jauh melampaui banyak negara lain.
Emas Sebagai Lindung Nilai Terpercaya di Tengah Ketidakpastian
Emas bukan hanya sekadar komoditas, tetapi juga alat lindung nilai yang penting bagi bank sentral. Analis keuangan Maria Chen menjelaskan bahwa emas tidak dapat didevaluasi melalui kebijakan moneter seperti mata uang, sehingga menjadi penyimpanan nilai yang andal.
Fenomena kenaikan harga emas ini juga dipicu oleh berbagai sanksi ekonomi yang membuat negara-negara mempertimbangkan ulang penggunaan dolar AS dalam cadangan devisa mereka. Rusia, misalnya, mengurangi kepemilikan surat utang negara AS dan meningkatkan cadangan emasnya secara signifikan.
Perubahan kebijakan ini mencerminkan kekhawatiran atas risiko geopolitik dan kebutuhan untuk menjaga kedaulatan moneter. Bank sentral China dan Rusia tercatat memiliki cadangan emas terbesar, masing-masing lebih dari 2.300 ton.
Pergeseran ini juga membuat porsi emas dalam cadangan devisa global kembali naik. Pada Juni 2025, emas menempati 24 persen dari total cadangan devisa, melampaui porsi surat utang AS yang hanya 23 persen.
Peran Strategis Emas dalam Cadangan Devisa Nasional
Dalam sejarahnya, cadangan devisa global didominasi oleh surat utang AS, khususnya di masa krisis finansial Asia 1997. Pada saat itu, 31 persen cadangan devisa global berupa surat utang AS, sementara emas hanya 19 persen.
Namun, tren tersebut mulai berubah seiring waktu. Pada Maret 2005, porsi emas dalam cadangan devisa global turun menjadi 9 persen, tetapi pada Juni 2025, porsinya kembali meningkat menjadi 24 persen.
Kondisi ini menunjukkan bahwa bank sentral mulai mengakui nilai emas sebagai aset yang penting untuk stabilitas ekonomi. Hal ini juga sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk menjaga nilai tukar dan cadangan devisa di tengah ketidakpastian global.
Harga emas yang terus naik juga berdampak pada pasar domestik. Di Indonesia, harga emas batangan mencapai rekor tertinggi Rp 2.250.000 per gram pada 6 Oktober 2025, menandai minat masyarakat yang semakin besar terhadap investasi emas.
Proyeksi Harga Emas dan Implikasinya bagi Investasi
Berbagai lembaga keuangan memberikan prediksi berbeda terkait harga emas ke depan. Goldman Sachs memperkirakan harga emas akan menembus 4.900 dollar AS per troy ounce pada 2026, sementara ING memperkirakan harga akan berada di kisaran 4.150 dollar AS.
Meski begitu, analis juga memperingatkan adanya potensi koreksi harga hingga 15 persen jika nilai tukar dollar AS dan imbal hasil surat utang naik. Namun, peluang koreksi tersebut belum terlihat dalam waktu dekat.
Sementara itu, pembelian emas oleh bank sentral diperkirakan akan terus berlanjut sebagai strategi lindung nilai. Emas menjadi pilihan utama untuk menjaga stabilitas nilai aset dan mengantisipasi gejolak ekonomi global.
Kenaikan harga emas yang signifikan dan peran pentingnya dalam cadangan devisa menegaskan bahwa emas tetap menjadi instrumen strategis yang relevan, terutama di masa ketidakpastian ekonomi seperti sekarang.
Dengan kenaikan harga emas yang terus melambung dan peningkatan cadangan emas oleh Bank Indonesia, emas semakin mengukuhkan posisinya sebagai aset andalan untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Kebijakan strategis ini diharapkan dapat menjaga kestabilan ekonomi nasional dalam jangka panjang.